Ibnu Thufail (Abubacer)
Ibnu Thufail (sekitar 1105–1185) nama lengkap; Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Tufail al-Qaisi al-Andalusi أبو بكر محمد بن عبد الملك بن محمد بن طفيل القيسي الأندلسي (nama Latin Abubacer) ialah filsuf, dokter, dan pejabat pengadilan Arab Muslim dari Al-Andalus.
Lahir di Guadix dekat Granada, ia dididik oleh Ibnu Bajjah (Avempace). Ia menjabat sekretaris untuk penguasa Granada, dan kemudian sebagai vizier dan dokter untuk Abu Yaqub Yusuf, penguasa Spanyol Islam (Al-Andalus) di bawah pemerintahan Almohad, pada yang mana ia menganjurkan Ibnu Rushd sebagai penggantinya sendiri saat ia beristirahat pada 1182. Ia meninggal di Maroko.
Di zamannya nama baiknya sebagai pemikir & pelajar telah membuatnya dipuji sebagai Maecenas. Ibnu Tufail juga merupakan pengarang Hayy ibn Yaqthan حي بن يقظان (Hidup, Putra Kesadaran) roman filsafat, dan kisah alegori lelaki yang hidup sendiri di sebuah pulau dan dan yang tanpa hubungan dengan manusia lainnya menemukan kebenaran dengan pemikiran yang masuk akal, dan kemudian keterkejutannya pada kontak dengan masyarakat manusia untuk dogmatisme, dan penyakit lainnya.
Karier Ibnu Thufail
Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab : Thanjah / Latin : Tanger) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya
Karya-karya Ibnu Thufai
Ibnu Thufail adalah seorang dokter, filsuf, ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari Muwaddin Spanyol, tapi sayangnya hanya sedikit sekali karya-karyanya yag dikenal orang.
Miguel Casiri (1122 H/1710 M-1205 H/1790 M) menyebutkan dua karya yang masih ada, yaitu: Risalah hay Ibn Yaqzhan dan Asrar al-Hikmah al- Mashriqiyyah, yang disebu terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari Asror menyebutkan bahwa itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hayy Ibn Yaqzhan fi Asror al-Hikmah al-Mashriqiyyah.
Kata Ibnu Thufail ini merupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran filsafatnya. Sebelumnya, judul ini telah diberikan oleh Ibn Sina kepada salah satu karya esoteriknya, tapi Ibnu Thufail berhasil menjadikan kisah ini menjadi kisah roman filosofis yang unik. Ketajaman filosofisnya yang menandai kebenaran kisah ini dan ia menjadikannya salah satu kisah yang paling asli dan paling indah pada abad pertengahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku ini diterjemahkan kedalam bahasa ibrani, Latin, Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol. Bahkan pada zaman modern pun minat terhadap karya Ibnu Thufail ini tetap ada.
Pemikiran Ibnu Thufail
1. Metafisika (ketuhanan)
Tuhan menurut Ibnu Thufail adalah pemberi wujud pada semua makhluk. Untuk membuktikan adanya Tuhan Ibnu Thufail mengemukakan tiga argument, yaitu:
a) Argumen Gerak (al-Harokat).
Gerak ala mini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu (hadist), berarti ala mini sebelumnya tidak ada, kemudian menjai ada. Oleh karena itu berarti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada yang disebut dengan Allah. Tapi bagi orang yang menyakini alam kadim, alam ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada, gerak ala mini kadim, tidak berawal dan tidak berakhir, karena zaman tidak mendahuluinya (tidak didahului oleh diam) adanya gerak ini menunjukkan secara pasti adanya penggerak.
b) Argumen Materi (al-Madat)
Argument ini, menurut Ibnu Thufail dapat membuktikan adanya Allah, baik yang menyakini alam kadim maupun hadistnya. Dalam hal ini Ibnu Thufail mengemukakan pokok pikirannya yang terkait antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
1) Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk;
2) Setiap materi membutuhkan bentuk;
3) Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak;
4) Segala yang ada (maujud) untuk berseksistensi membutuhkan pencipta.
Dengan argumen diatas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini, Ia Maha Kuasa, bebas memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir.
c) Argumen al-Gayyat dan al-Mayyat.
Pada argumen ini pernah dikemukakan oleh al-kindi dan Ibn Sina, bahwa segala yang ada di ala mini mempunyai tujuan tertentu dan merupakan inayah dari Allah.
Pada argumen ini pernah dikemukakan oleh al-kindi dan Ibn Sina, bahwa segala yang ada di ala mini mempunyai tujuan tertentu dan merupakan inayah dari Allah.
2. Fisika
Menurut Ibnu Thufail ala mini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya sejak azali, tanpa didahului oleh zaman (taqaddum zamany), dilihat dari esensinya alam adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul) bergantung pada zat Allah (illat).
Pandangan menurut Ibnu Thufail ini merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum ortodok Islam yang meyatakan alam baharu.
Menurut Ibnu Thufail ala mini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya sejak azali, tanpa didahului oleh zaman (taqaddum zamany), dilihat dari esensinya alam adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul) bergantung pada zat Allah (illat).
Pandangan menurut Ibnu Thufail ini merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum ortodok Islam yang meyatakan alam baharu.
3. Jiwa
Menurut Ibnu Thufail jiwa manusia adalah makhluk yang tertinggi martabanya. Menusia terdiri dari dua unsur , yakni jasad dan ruh (al-Madad wa al-Ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan juga bukan sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan hancur (mengalami kematian) jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu Thufail jiwa terdiri dari tiga tingkat, yakni dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-Nafs al-Hayawaniyyah), kemudian tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya, yaitu jiwa manusia (al-Nafs al- natiqat).
Menurut Ibnu Thufail jiwa manusia adalah makhluk yang tertinggi martabanya. Menusia terdiri dari dua unsur , yakni jasad dan ruh (al-Madad wa al-Ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan juga bukan sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan hancur (mengalami kematian) jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu Thufail jiwa terdiri dari tiga tingkat, yakni dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-Nafs al-Hayawaniyyah), kemudian tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya, yaitu jiwa manusia (al-Nafs al- natiqat).
4. Epistimologi
Dalam epistimologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan intuisi. Menurutnya ma’rifat di lakukan dengan dua cara, yaitu:
a) Pemikiran/renungan akal, seperti yang dilakukan para
filsuf muslim;
b) Kasyf ruhani (tasawwuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kamu sufi. Ma’rifat kasyf ruhani ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan ruhani dengan penuh kesungguhan.
5. Rekonsiliasi (Tawfiq) antara filsafat dan agama.
Melalui roman filsafat hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Dalam hal ini, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara salman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris. Kebenaran yang dikehendaki agama, karena sumbernya sama, yakni Allah SWT.
Dalam epistimologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan intuisi. Menurutnya ma’rifat di lakukan dengan dua cara, yaitu:
a) Pemikiran/renungan akal, seperti yang dilakukan para
filsuf muslim;
b) Kasyf ruhani (tasawwuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kamu sufi. Ma’rifat kasyf ruhani ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan ruhani dengan penuh kesungguhan.
5. Rekonsiliasi (Tawfiq) antara filsafat dan agama.
Melalui roman filsafat hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Dalam hal ini, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara salman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris. Kebenaran yang dikehendaki agama, karena sumbernya sama, yakni Allah SWT.
Sekilas Tentang Hayy Bin Haqzhan
Inti dari pemikiran Ibnu Thufail termuat dalam karyanya ini. Antara akal dan wahyu tidaklah memiliki kontradiksi yang begitu besar. Bahkan keduanya dapat memiliki satu visi dan tujuan yang sama tentang kebenaran. Dan juga akan memiliki titik keindahan bila keduanya dapat digabungkan. Bahwa jalan yang ditunjukkan oleh agama dapat diperoleh dengan intelektualitas manusia yang cenderung berhasrat untuk terus bertanya dan mencoba menjawab apa yang ada dan juga oleh wahyu yang dapat dijadikan petunjuk tetap menuju satu kebenaran. Keduanya sama-sama dapat menuju kebenaran, demikian pesan yang ingin disampaikan oleh Ibnu Thufail dalam karyanya Hayy Ibn Yaqdzan.
Dalam karyanya ini, Ibnu Thufail seperti merasa jengah dengan pertikaian 2 proyektor besar dalam proses pencarian kebenaran, filsafat, dan wahyu. Pertikaian yang diledakkan oleh al Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah nya menentang Ibnu Sina dan al Farabi yang fokus pada ajaran Aristotelian mereka. Pertikaian yang pada dasarnya ada pada ketidaksetujuan al Ghazali yang fokus pada 3 ajaran para filosof terutama Ibnu Sina dan al Farabi tentang keabadian alam, penolakan bangkitnya jasmani setelah mati, dan pengetahuan Tuhan yang universal. Ketiga hal ini yang benar-benar dianggap oleh al Ghazali sebagai penyalahgunaan rasio untuk menyelewengkan agama.
Pertikaian ini coba didamaikan Ibnu Thufail dengan mengatakan bahwa antara keduanya tidaklah jauh berbeda dalam memandang kebenaran yang sama, eksternal, dan internal. Pemahaman agama melalui wahyu dan pemahaman agama melalui nalar melihat kebenaran dari sisi yang berbeda dengan hakikat yang sama.
Kisah Hayy ibn Yaqzhan
Cerita Hayy ibn Yaqzhan terjadi di sebuah pulau di daerah khatulistiwa yang tidak dihuni oleh manusia. Disana Hayy ditemukan sendirian sebagai seorang bayi. Beberapa filsuf berpendapat bahwa dia lahir secara spontan ketika terjadi perbauran antar elemen telah mencapai sebuah keseimbangan yang tepat, membuat perbauran ini mungkin untuk menerima sebuah jiwa dari dunia ke-ilahian. Kalangan tradisional percaya bahwa dia adalah anak dari seorang wanita yang memilih untuk menyembunyian pernikahannya dengan kerabatnya, Yaqzan, dari saudara laki-lakinya yang memerintah sebuah pulau dan tidak menemukan pasangan yang tepat untuk saudara perempuannya. Setelah menyusui Hayy, dia meletakkannya ke dalam sebuah kotak dan membuangnya ke dalam air yang membawanya ke pulau yang tak berpenghuni.
Seekor kijang betina yang baru saja kehilangan anaknya mendengar tangisan Hayy. Dia menyusui Hayy, menjaganya dari hal-hal yang berbahaya dan merawatnya sampai dia mati ketika Hayy berusia 7 tahun. Hayy belajar meniru hewan-hewan dalam berbicara dan dia menutup tubuhnya dengan dedaunan setelah menyadari bahwa tubuh hewan-hewan tersebut tertutup dengan rambut atau bulu. Kematian si kijang mengubah kehidupan Hayy dari sebuah ketergantungan menjadi sebuah eksplorasi dan penemuan.
Dalam usaha untuk mengetahui alasan kematian kijang, sebuah alasan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan mengamati penampilan fisiknya saja. Dia membelah si kijang dengan batu yang tajam dan buluh kering. Dia menyadari bahwa setiap organ tubuh mempunyai fungsi yang wajar dan terlihat di sebelah kiri lubang jantungnya kosong. Dia menyimpulkan bahwa sumber kehidupan pasti berada di lubang tersebut dan pasti telah ditinggalkannya. Dia merenungkan bagian penting tersebut yang berhubungan dengan tubuh, sumbernya, tempat dimana bagian penting tersebut telah pergi, cara kepergiannya, dan lain sebagainya. Dia menyadari bahwa bukan tubuhnya tapi entitas vital dari kijang dan sumber tindakannya. Dengan kesadaran tersebut dia kehilangan ketertarikan terhadap tubuh kijang yang kemudian ia lihat hanya sebagai sebuah alat. Selama dia belum dapat menguraikan entitas vital ini, dia menyelidiki bahwa bentuk semua kijang sama dengan bentuk ibunya. Dari sini dia berkesimpulan bahwa semua kijang telah diatur oleh sesuatu yang sama dengan entitas vital yang mengatur kematian ibunya.
Setelah penemuannya tentang kehidupan, dia menemukan api. Dia menyadari bahwa berkebalikan dengan obyek-obyek alami lainnya yang bergerak kebawah, api bergerak keatas. Ini mengindikasikan bahwa hakikat dari api berbeda dengan obyek-obyek alami lain. Dia terus menyelidiki bagian lain dari alam: organ binatang, penyusunannya, jumlah, ukuran dan posisi serta kesamaan kualitas yang dimiliki binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bergerak yang sangat tepat setiap bagiannya. Lewat penalarannya, dia memahami konsep materi dan bentuk, sebab dan akibat, kesatuan dan keragaman, serta konsep-konsep umum berkaitan dengan bumi dan langit. Dia berkesimpulan bahwa alam semesta adalah satu meskipun itu memiliki beberapa obyek, dia pindah ke pertimbangan apakah alam semesta diciptakan atau abadi. Lewat penalaran yang sangat rumit, dia menemukan bahwa baik gagasan penciptaan atau keabadian keduanya tidak ada yang lepas dari adanya keberatan. Meskipun dia tidak dapat memutuskan secara rasional apakah alam semesta diciptakan atau abadi, dia berkesimpulan bahwa pasti ada sebuah penyebab yang tetap bergantung dan bahwa penyebab ini atau 'necessary being' bersifat non fisik dan hakikatnya diatas itu, bahkan jika tidak pada waktunya.
Dia juga menyimpulkan bahwa obyek dalam dirinya yang memahami penyebab ini juga bersifat non-fisik. Semakin dilepaskan obyek non-fisik dalam dirinya yang berasal dari kesadaran panca indera, semakin dekat kemampuannya untuk melihat penyebab ini, sebuah penglihatan yang memiliki kegembiraan tertinggi. Meskipun sensasi menghambat penglihatan ini, dia merasa wajib untuk meniru binatang-binatang dengan mengalami sensasi-sensasi untuk melindungi jiwa binatangnya yang akan mampu membuatnya meniru tubuh surgawi. Meniru tubuh surgawi dengan melakukan hal-hal seperti gerakan melingkar memberinya visi kontinu tetapi tidak murni.
Dengan pengetahuan tentang "necessary being", Hayy berusaha untuk meniru sifat-sifat positif dari hal tersebut. Dengan sebuah usaha untuk mentranseden dunia fisik, dia berusaha untuk meniru sifat-sifat yang negatif. Peniruan dari "necessary being" untuk tujuan ini tidak melibatkan diri dan oleh karena itu memberinya penglihatan yang murni. Tidak hanya diri atau hakikat Hayy dihapus dalam keadaan ini, tapi juga segala sesuatu selain dari "necessary being". Tidak ada penglihatan, pendengaran, atau percakapan manusia dapat memahami keadaan ini, karena itu terletak di luar dunia dan pengalaman akal. Oleh karenanya tidak ada penjelasan bahwa "necessary being" dapat diebrikan, hanya tanda-tanda saja, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Sina dalam al-Isharat wa-'l-tanbihat (Remarks and Admonitions). Seseorang yang mencari sebuah penjelasan dari keadaan ini adalah seperti seseorang yang mencari 'rasa dari warna karena mereka adalah warna-the taste of colours inasmuch as they are colours-'. Verifikasi membutuhkan pengalaman langsung. Menggunakan bahasa manusia yang dideskripsikan seperti sebuah alat yang tanggung, untuk mengisyaratkan kebenaran hayy berkata bahwa harus ada bukti dalam keadaan ini, "necessary being" menembus seluruh alam semesta seperti sinar matahari menembus seluruh dunia fisik. Mencoba untuk mengungkapkan yang tak terungkap, Ibnu Thufail mengatakan bahwa Hayy menyadari dalam kondisi ini bahwa keseluruhan adalah satu, kesatuan dalam keanekaragaman, seperti pertentangan lain, keberadaan hanya untuk tanggapan panca indera.
Di pulau sebelah, sekelompok orang termasuk sang raja, Salaman, mempraktekkan sebuah agama yang masih menyiapkan misa-misa dengan simbol-simbol, bukan kebenaran secara langsung. Absal, teman Salaman, menyelidiki ritual dari agama ini tapi bertentangan dengan mereka yang mematuhi arti harfiah dari agama itu, dia menggali kebenaran sampai kedalam. Kecenderungan secara alami untuk menyendiri, seperti yang terdapat dalam perjanjian dengan kutipan-kutipan tertentu dari Kitab Suci, Absal pindah ke pulau dimana Hayy tinggal. Ketika dia bertemu dengan Hayy, dia merasa takut sampai Hayy menjelaskan bahwa dia tidak mempunyai maksud jahat. Absal lalu mengajari Hayy bahasa manusia dengan menunjuk ke sebuah obyek sambil mengatakan kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dengan bahasa yang ia dapat, Hayy mampu untuk menjelaskan pada Absal tentang pengetahuan-pengetahuan yang didapatnya.
Sementara kebenaran akal dan wahyu adalah sama, sebagian besar dari mereka mengikuti pilihan yang kedua, melakukannya untuk kesuksesan duniawi dan karenanya mengalami kesengsaraan akhirat. Menyadari bahwa usahanya untuk memberikan pencerahan pada orang-orang ini hanya akan menurunkan stabilitas mereka tanpa mempersiapkan mereka untuk suatu kebahagiaan, Hayy meminta masyarakat untuk melanjutkan aktivitas agama mereka, memperingatkan mereka hanya terhadap kegemaran mereka terhadap hal-hal duniawi. Hayy dan Absal kemudian kembali ke pulau kosong untuk mempraktekkan ilmu mereka dalam keterasingan.
Ibnu Thufail mengakhirkan ceritanya dengan menggambarkannya seperti 'menyediakan sepotong pembahasan yang tidak ditemukan dalam sebuah buku atau didengar dalam pembicaraan'. Bagaimana hal ini harus dimengerti ketika beliau sebelumnya telah mengatakan pada kita di pendahuluan bahwa hasil karyanya ini adalah sebuah elaborasi dari kebijaksanaan oriental Ibnu Sina? Mungkin jawabannya dapat ditemukan dalam penegasan Ibnu Thufail tentang keunikan dari 'pembahasan' atau 'pembicaraan' tertentu, bukan di dalam keunikan dari isinya. Jika demikian, keaslian karya akan tampak terletak hanya dalam bentuknya.
Ibnu Tufail meninggal dunia pada tahun 1185 M di Maroko. Hingga kini, namanya tetap abadi lewat karya tulis yang dihasilkannya. Dunia Barat tetap menghormati dan mengaguminya sebagai seorang ilmuwan hebat. Sayangnya, justru peradaban Islam yang kerap melupakan jasa-jasa ilmuwan Muslim di era keemasannya. Peradaban Islam modern lebih takjub pada ilmuwan-ilmuwan Barat yang se jatinya belajar dari ilmuwan Muslim. Tak heran jika generasi muda Muslim lebih mengetahui ilmuwan Barat dibandingkan ilmuwan Islam. Sosok Ibnu Thufail sangat penting untuk dikaji dan di perkenalkan kepada generasi muda Islam. Sehingga mereka bisa bangga dan meniru jejak perjuangannya.
Hayy ibn Yaqzhan dikenal dengan nama "Philosophus Autodidactus" di Barat. Pada bagian pendahuluan, Ibnu Thufail mempersembahkan beberapa pandangan dari para pendahulunya, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Ghazali, dan Ibnu Bajjah. Al Farabi dikritik keras tentang pandangannya yang tidak konsisten tentang alam akhirat. Tidak ada kritik tentang Ibnu Sina, sebaliknya diceritakan bahwa kebijaksanaan oriental Ibnu Sina akan diuraikan sepanjang sisa pekerjaannya. Pandangan Ibnu Bajjah dikatakan belum lengkap, menyebutkan tentang kondisi spekulatif tertinggi tetapi bukan kondisi diatasnya, yaitu "menyaksikan" atau pengalaman mistik. Sementara pengalaman mistik al Ghazali tidak diragukan lagi, tak satupun dari karya-karyanya tentang pengetahuan mistik telah dicapai oleh Ibnu Thufail. Pendahuluan tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan niat ibnu thufail yaitu elaborasi kebijaksanaan oriental Ibnu Sina dan menunjukkan bagaimana karyanya berbeda dari para pendahulunya.
Inti dari pemikiran Ibnu Thufail termuat dalam karyanya ini. Antara akal dan wahyu tidaklah memiliki kontradiksi yang begitu besar. Bahkan keduanya dapat memiliki satu visi dan tujuan yang sama tentang kebenaran. Dan juga akan memiliki titik keindahan bila keduanya dapat digabungkan. Bahwa jalan yang ditunjukkan oleh agama dapat diperoleh dengan intelektualitas manusia yang cenderung berhasrat untuk terus bertanya dan mencoba menjawab apa yang ada dan juga oleh wahyu yang dapat dijadikan petunjuk tetap menuju satu kebenaran. Keduanya sama-sama dapat menuju kebenaran, demikian pesan yang ingin disampaikan oleh Ibnu Thufail dalam karyanya Hayy Ibn Yaqdzan.
Dalam karyanya ini, Ibnu Thufail seperti merasa jengah dengan pertikaian 2 proyektor besar dalam proses pencarian kebenaran, filsafat, dan wahyu. Pertikaian yang diledakkan oleh al Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah nya menentang Ibnu Sina dan al Farabi yang fokus pada ajaran Aristotelian mereka. Pertikaian yang pada dasarnya ada pada ketidaksetujuan al Ghazali yang fokus pada 3 ajaran para filosof terutama Ibnu Sina dan al Farabi tentang keabadian alam, penolakan bangkitnya jasmani setelah mati, dan pengetahuan Tuhan yang universal. Ketiga hal ini yang benar-benar dianggap oleh al Ghazali sebagai penyalahgunaan rasio untuk menyelewengkan agama.
Pertikaian ini coba didamaikan Ibnu Thufail dengan mengatakan bahwa antara keduanya tidaklah jauh berbeda dalam memandang kebenaran yang sama, eksternal, dan internal. Pemahaman agama melalui wahyu dan pemahaman agama melalui nalar melihat kebenaran dari sisi yang berbeda dengan hakikat yang sama.
Cerita Hayy ibn Yaqzhan terjadi di sebuah pulau di daerah khatulistiwa yang tidak dihuni oleh manusia. Disana Hayy ditemukan sendirian sebagai seorang bayi. Beberapa filsuf berpendapat bahwa dia lahir secara spontan ketika terjadi perbauran antar elemen telah mencapai sebuah keseimbangan yang tepat, membuat perbauran ini mungkin untuk menerima sebuah jiwa dari dunia ke-ilahian. Kalangan tradisional percaya bahwa dia adalah anak dari seorang wanita yang memilih untuk menyembunyian pernikahannya dengan kerabatnya, Yaqzan, dari saudara laki-lakinya yang memerintah sebuah pulau dan tidak menemukan pasangan yang tepat untuk saudara perempuannya. Setelah menyusui Hayy, dia meletakkannya ke dalam sebuah kotak dan membuangnya ke dalam air yang membawanya ke pulau yang tak berpenghuni.
Seekor kijang betina yang baru saja kehilangan anaknya mendengar tangisan Hayy. Dia menyusui Hayy, menjaganya dari hal-hal yang berbahaya dan merawatnya sampai dia mati ketika Hayy berusia 7 tahun. Hayy belajar meniru hewan-hewan dalam berbicara dan dia menutup tubuhnya dengan dedaunan setelah menyadari bahwa tubuh hewan-hewan tersebut tertutup dengan rambut atau bulu. Kematian si kijang mengubah kehidupan Hayy dari sebuah ketergantungan menjadi sebuah eksplorasi dan penemuan.
Dalam usaha untuk mengetahui alasan kematian kijang, sebuah alasan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan mengamati penampilan fisiknya saja. Dia membelah si kijang dengan batu yang tajam dan buluh kering. Dia menyadari bahwa setiap organ tubuh mempunyai fungsi yang wajar dan terlihat di sebelah kiri lubang jantungnya kosong. Dia menyimpulkan bahwa sumber kehidupan pasti berada di lubang tersebut dan pasti telah ditinggalkannya. Dia merenungkan bagian penting tersebut yang berhubungan dengan tubuh, sumbernya, tempat dimana bagian penting tersebut telah pergi, cara kepergiannya, dan lain sebagainya. Dia menyadari bahwa bukan tubuhnya tapi entitas vital dari kijang dan sumber tindakannya. Dengan kesadaran tersebut dia kehilangan ketertarikan terhadap tubuh kijang yang kemudian ia lihat hanya sebagai sebuah alat. Selama dia belum dapat menguraikan entitas vital ini, dia menyelidiki bahwa bentuk semua kijang sama dengan bentuk ibunya. Dari sini dia berkesimpulan bahwa semua kijang telah diatur oleh sesuatu yang sama dengan entitas vital yang mengatur kematian ibunya.
Setelah penemuannya tentang kehidupan, dia menemukan api. Dia menyadari bahwa berkebalikan dengan obyek-obyek alami lainnya yang bergerak kebawah, api bergerak keatas. Ini mengindikasikan bahwa hakikat dari api berbeda dengan obyek-obyek alami lain. Dia terus menyelidiki bagian lain dari alam: organ binatang, penyusunannya, jumlah, ukuran dan posisi serta kesamaan kualitas yang dimiliki binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bergerak yang sangat tepat setiap bagiannya. Lewat penalarannya, dia memahami konsep materi dan bentuk, sebab dan akibat, kesatuan dan keragaman, serta konsep-konsep umum berkaitan dengan bumi dan langit. Dia berkesimpulan bahwa alam semesta adalah satu meskipun itu memiliki beberapa obyek, dia pindah ke pertimbangan apakah alam semesta diciptakan atau abadi. Lewat penalaran yang sangat rumit, dia menemukan bahwa baik gagasan penciptaan atau keabadian keduanya tidak ada yang lepas dari adanya keberatan. Meskipun dia tidak dapat memutuskan secara rasional apakah alam semesta diciptakan atau abadi, dia berkesimpulan bahwa pasti ada sebuah penyebab yang tetap bergantung dan bahwa penyebab ini atau 'necessary being' bersifat non fisik dan hakikatnya diatas itu, bahkan jika tidak pada waktunya.
Dia juga menyimpulkan bahwa obyek dalam dirinya yang memahami penyebab ini juga bersifat non-fisik. Semakin dilepaskan obyek non-fisik dalam dirinya yang berasal dari kesadaran panca indera, semakin dekat kemampuannya untuk melihat penyebab ini, sebuah penglihatan yang memiliki kegembiraan tertinggi. Meskipun sensasi menghambat penglihatan ini, dia merasa wajib untuk meniru binatang-binatang dengan mengalami sensasi-sensasi untuk melindungi jiwa binatangnya yang akan mampu membuatnya meniru tubuh surgawi. Meniru tubuh surgawi dengan melakukan hal-hal seperti gerakan melingkar memberinya visi kontinu tetapi tidak murni.
Dengan pengetahuan tentang "necessary being", Hayy berusaha untuk meniru sifat-sifat positif dari hal tersebut. Dengan sebuah usaha untuk mentranseden dunia fisik, dia berusaha untuk meniru sifat-sifat yang negatif. Peniruan dari "necessary being" untuk tujuan ini tidak melibatkan diri dan oleh karena itu memberinya penglihatan yang murni. Tidak hanya diri atau hakikat Hayy dihapus dalam keadaan ini, tapi juga segala sesuatu selain dari "necessary being". Tidak ada penglihatan, pendengaran, atau percakapan manusia dapat memahami keadaan ini, karena itu terletak di luar dunia dan pengalaman akal. Oleh karenanya tidak ada penjelasan bahwa "necessary being" dapat diebrikan, hanya tanda-tanda saja, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Sina dalam al-Isharat wa-'l-tanbihat (Remarks and Admonitions). Seseorang yang mencari sebuah penjelasan dari keadaan ini adalah seperti seseorang yang mencari 'rasa dari warna karena mereka adalah warna-the taste of colours inasmuch as they are colours-'. Verifikasi membutuhkan pengalaman langsung. Menggunakan bahasa manusia yang dideskripsikan seperti sebuah alat yang tanggung, untuk mengisyaratkan kebenaran hayy berkata bahwa harus ada bukti dalam keadaan ini, "necessary being" menembus seluruh alam semesta seperti sinar matahari menembus seluruh dunia fisik. Mencoba untuk mengungkapkan yang tak terungkap, Ibnu Thufail mengatakan bahwa Hayy menyadari dalam kondisi ini bahwa keseluruhan adalah satu, kesatuan dalam keanekaragaman, seperti pertentangan lain, keberadaan hanya untuk tanggapan panca indera.
Di pulau sebelah, sekelompok orang termasuk sang raja, Salaman, mempraktekkan sebuah agama yang masih menyiapkan misa-misa dengan simbol-simbol, bukan kebenaran secara langsung. Absal, teman Salaman, menyelidiki ritual dari agama ini tapi bertentangan dengan mereka yang mematuhi arti harfiah dari agama itu, dia menggali kebenaran sampai kedalam. Kecenderungan secara alami untuk menyendiri, seperti yang terdapat dalam perjanjian dengan kutipan-kutipan tertentu dari Kitab Suci, Absal pindah ke pulau dimana Hayy tinggal. Ketika dia bertemu dengan Hayy, dia merasa takut sampai Hayy menjelaskan bahwa dia tidak mempunyai maksud jahat. Absal lalu mengajari Hayy bahasa manusia dengan menunjuk ke sebuah obyek sambil mengatakan kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dengan bahasa yang ia dapat, Hayy mampu untuk menjelaskan pada Absal tentang pengetahuan-pengetahuan yang didapatnya.
Mendengar hal tersebut, Absal menyadari bahwa apa yang telah disaksikan Hayy adalah kenyataan-kenyataan yang digambarkan dalam agamanya: Tuhan, malaikat, kitab suci, nabi, akhirat dan lain sebagainya. Ketika Absal membicarakan kebenaran-kebenaran dalam agamanya, Hayy juga menemukan kebenaran-kebenaran ini sesuai dengan apa yang telah dia ketahui. Akan tetapi, Hayy tidak dapat mengerti mengapa agama Absal menggunakan simbol-simbol dan membolehkan indulgensi dalam obyek-obyek material.
Hayy mengungkapkan ketertarikannya untuk mengunjungi pulau seberang untuk menjelaskan pada penduduknya tentang kebenaran yang sejati. Absal, yang tahu kondisi pulaunya, enggan untuk menemaninya. Berhadapan dengan kelompok yang paling cerdas di pulau tersebut, Hayy menunjukkan rasa hormatnya sampai dia mencoba untuk melampaui makna harfiah dari Kitab suci mereka. Orang-orang mulai menjauhinya, mengalihkan perhatian mereka dari kabenaran dengan aktivitas perdagangan. Hayy kemudian mengerti bahwa orang-orang tidak mampu untuk memahami kebenaran sejati dan agama tersebut dibutuhkan untuk kestabilan sosial dan kemanan mereka. Kestabilan sosial dan keamana, akan tetapi, tak ada jalan keselamatan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Hanya obsesi ke-ilahian, yang langka dijumpai diantara orang-orang ini, yang dapat menyediakan jalan keselamatan kebahagiaan akhirat. Sebaliknya, obsesi keduniaan yang dianut oleh sebagian bersar orang-orang ini akan membiarkan diri mereka berakhir dalam kegelapan atau neraka.
Hayy mengungkapkan ketertarikannya untuk mengunjungi pulau seberang untuk menjelaskan pada penduduknya tentang kebenaran yang sejati. Absal, yang tahu kondisi pulaunya, enggan untuk menemaninya. Berhadapan dengan kelompok yang paling cerdas di pulau tersebut, Hayy menunjukkan rasa hormatnya sampai dia mencoba untuk melampaui makna harfiah dari Kitab suci mereka. Orang-orang mulai menjauhinya, mengalihkan perhatian mereka dari kabenaran dengan aktivitas perdagangan. Hayy kemudian mengerti bahwa orang-orang tidak mampu untuk memahami kebenaran sejati dan agama tersebut dibutuhkan untuk kestabilan sosial dan kemanan mereka. Kestabilan sosial dan keamana, akan tetapi, tak ada jalan keselamatan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Hanya obsesi ke-ilahian, yang langka dijumpai diantara orang-orang ini, yang dapat menyediakan jalan keselamatan kebahagiaan akhirat. Sebaliknya, obsesi keduniaan yang dianut oleh sebagian bersar orang-orang ini akan membiarkan diri mereka berakhir dalam kegelapan atau neraka.
Sementara kebenaran akal dan wahyu adalah sama, sebagian besar dari mereka mengikuti pilihan yang kedua, melakukannya untuk kesuksesan duniawi dan karenanya mengalami kesengsaraan akhirat. Menyadari bahwa usahanya untuk memberikan pencerahan pada orang-orang ini hanya akan menurunkan stabilitas mereka tanpa mempersiapkan mereka untuk suatu kebahagiaan, Hayy meminta masyarakat untuk melanjutkan aktivitas agama mereka, memperingatkan mereka hanya terhadap kegemaran mereka terhadap hal-hal duniawi. Hayy dan Absal kemudian kembali ke pulau kosong untuk mempraktekkan ilmu mereka dalam keterasingan.
Ibnu Thufail mengakhirkan ceritanya dengan menggambarkannya seperti 'menyediakan sepotong pembahasan yang tidak ditemukan dalam sebuah buku atau didengar dalam pembicaraan'. Bagaimana hal ini harus dimengerti ketika beliau sebelumnya telah mengatakan pada kita di pendahuluan bahwa hasil karyanya ini adalah sebuah elaborasi dari kebijaksanaan oriental Ibnu Sina? Mungkin jawabannya dapat ditemukan dalam penegasan Ibnu Thufail tentang keunikan dari 'pembahasan' atau 'pembicaraan' tertentu, bukan di dalam keunikan dari isinya. Jika demikian, keaslian karya akan tampak terletak hanya dalam bentuknya.
Wafatnya Ibnu Thufail
Ibnu Tufail meninggal dunia pada tahun 1185 M di Maroko. Hingga kini, namanya tetap abadi lewat karya tulis yang dihasilkannya. Dunia Barat tetap menghormati dan mengaguminya sebagai seorang ilmuwan hebat. Sayangnya, justru peradaban Islam yang kerap melupakan jasa-jasa ilmuwan Muslim di era keemasannya. Peradaban Islam modern lebih takjub pada ilmuwan-ilmuwan Barat yang se jatinya belajar dari ilmuwan Muslim. Tak heran jika generasi muda Muslim lebih mengetahui ilmuwan Barat dibandingkan ilmuwan Islam. Sosok Ibnu Thufail sangat penting untuk dikaji dan di perkenalkan kepada generasi muda Islam. Sehingga mereka bisa bangga dan meniru jejak perjuangannya.
Ibnu Thufail adalah seorang Filosof yang memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang, tetapi idak banyak mempunyai karya-karya seperti filosof lainnya, hanya sedikit karya-karyanya yang dikenal oleh orang. Kemudian pemikiran yang dihasilkan oleh Ibnu Thufail, yaitu: metafisika, Fisika, Jiwa, Epistimologi dan Rekonsiliasi antara filsafat dan agama. Salam saya...
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, Yoyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Prof. Dr. H. Sirajjuddin, MA. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Yogyakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007.
M.M. Syarif, MA. “The Philosophers”, dari buku History of Muslim Philoshophy,
Bandung: Mizan, cet. I, 1985 Sumber http://www.zulfanafdhilla.com/
0 Komentar